Oleh: Yani Eko Prasetya – Kabiro Magetan,
Magetan ~ Globalindo.Net// Musim panen telah tiba, namun senyum petani tak kunjung merekah. Harga gabah yang mereka harapkan bisa menutup biaya tanam, justru jatuh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) yang ditetapkan melalui BULOG. Ironisnya, para pengepul tetap bebas membeli dengan harga semaunya, jauh di bawah batas yang ditentukan negara.
Di desa-desa penghasil padi, seperti yang kita lihat di beberapa kecamatan di Magetan, petani menjual gabah kering panen (GKP) hanya di kisaran Rp5.900–Rp6.300/kg. Padahal pemerintah melalui Peraturan Badan Pangan Nasional telah menetapkan HPP GKP minimal Rp6.500/kg di tingkat petani.
Pertanyaannya: ke mana peran pengawasan? Apakah HPP hanya sekadar angka tanpa makna?
Pengepul berdalih, gabah yang mereka beli harus dikeringkan, diangkut, disimpan, dan biaya pasca-panen lainnya menjadi beban tambahan. Namun, bukan berarti petani harus terus menerus menjadi pihak yang dikorbankan demi rantai distribusi yang tidak adil.
Ini bukan hanya soal harga, tapi soal keberpihakan. Kalau petani terus dirugikan, siapa lagi yang akan menanam padi untuk kita semua? Jangan tunggu sampai petani berhenti menanam, baru kita menyesal saat harga beras meroket.
Pemerintah daerah dan BULOG harus lebih tegas. Satgas pangan harus turun tangan mengawasi permainan harga, dan koperasi petani perlu diperkuat agar mereka tidak lagi bergantung pada tengkulak.
Jika negara hadir untuk melindungi rakyatnya, maka petani adalah yang paling berhak mendapat perlindungan itu. Karena dari tangan mereka, kita bisa makan nasi hari ini.
{YEKO}