Oleh. ๐๐๐ฌ๐ฉ๐๐ซ ๐๐๐๐ฎ๐ง๐ข,
๐๐ฏ๐ข๐ญ๐ช๐ด ๐๐ช๐ด๐ต๐ฆ๐ฎ ๐ฅ๐ข๐ฏ ๐๐ฌ๐ต๐ช๐ท๐ช๐ด ๐๐ณ๐ข๐ฏ๐ด๐ง๐ฐ๐ณ๐ฎ๐ข๐ด๐ช ๐๐ถ๐ฏ๐ถ๐ฎ๐ฆ ๐๐ฆ๐ฏ๐ฆ.
Di tengah kabut pagi yang menyelimuti lembah dan gunung, tanah Papua mengalami pergolakan yang tak hanya melibatkan alam, tetapi juga hati dan jiwa masyarakatnya. Di Provinsi Papua Pegunungan, sebuah konflik terkini mengemuka, menguji prinsip-prinsip dasar hak asasi manusia dan kedaulatan masyarakat adat. Masalah ini berpusat pada rencana pembangunan Kantor Gubernur di Wamena, yang tanahnya dianggap sakral dan produktif oleh masyarakat adat Welesi dan Wouma. Persoalan ini, meski terdengar lokal, membawa resonansi global mengenai hak-hak masyarakat adat, pembangunan berkelanjutan, dan intervensi pemerintah.
Rencana pembangunan Kantor Gubernur tersebut tidak hanya melibatkan pemindahan fisik atau penataan ulang infrastruktur; ini adalah tentang pergeseran identitas, tentang hilangnya hubungan spiritual dan material antara masyarakat dengan tanah leluhur mereka. Di sinilah teori Louis Althusser tentang Repressive State Apparatus (RSA) dan Ideological State Apparatus (ISA) menjadi relevan dan hidup, menawarkan lensa kritis untuk memahami dinamika kekuasaan yang bermain.
Louis Althusser membedakan antara Repressive State Apparatuses (RSA) dan Ideological State Apparatuses (ISA). RSA menggunakan kekuatan dan ideologi untuk mempertahankan dan menjaga dominasi kelas penguasa. RSA melibatkan lembaga seperti polisi, militer, dan sistem peradilan yang menggunakan kekerasan untuk menjaga ketertiban negara. Sebaliknya, ISA mempengaruhi masyarakat secara lebih mendalam dan mendalam melalui lembaga seperti pendidikan, agama, keluarga, dan media, tanpa menggunakan kekuatan fisik. Dengan bekerja sama, kedua alat negara ini menjamin dominasi dan kepatuhan dalam struktur sosial.
RSA, dalam konteks ini, bisa dipahami melalui penggunaan kekuasaan eksekutif dan yudikatif oleh pemerintah pusat dan lokal untuk melanggengkan rencana pembangunan. Meski belum terdapat tindakan represif fisik yang eksplisit, tekanan untuk membebaskan tanah yang oleh masyarakat adat dianggap sebagai tindakan pemaksaan mungkin dapat diinterpretasikan sebagai bentuk represi. Penolakan masyarakat adat yang diwakili oleh koalisi Suku Wouma, Welesi, dan Assolokobal, serta pengaduan mereka ke Komnas HAM RI, merupakan suara perlawanan terhadap RSA.
Sementara itu, ISA dapat dilihat dari upaya pemerintah melalui berbagai kebijakan dan inisiatif publik yang bertujuan untuk menormalkan pembangunan sebagai agenda positif dan tidak terelakkan. ISA di sini beroperasi melalui narasi-narasi pembangunan, pendidikan, dan agama yang mempromosikan visi pemerintah tentang modernisasi dan kemajuan, sering kali mengabaikan atau mereduksi pentingnya nilai-nilai tradisional dan hak-hak masyarakat adat.
Kunjungan Pj. Gubernur Dr. Velix Vernando Wanggai, S.I.P., M.P.A., ke Kampung Minimo dan upaya pembangunan monumen serta tugu peringatan masuknya Injil ke Lembah Balim, misalnya, dapat dilihat sebagai upaya untuk memperkuat ISA. Melalui momen bersejarah dan spiritual ini, pemerintah berupaya mengaitkan agenda pembangunan dengan narasi positif, mencoba mengkonsolidasikan dukungan publik dan mungkin mengurangi resistensi terhadap rencana pembangunan Kantor Gubernur.
Pembatalan kunjungan Wakil Presiden RI, Ma’ruf Amin, ke Wamena tahun lalu pada tanggal 12 Oktober 2023 menyiratkan kompleksitas dan sensitivitas isu ini dalam skala politik yang lebih luas. Ini menunjukkan bahwa konflik tanah di Papua Pegunungan bukan hanya masalah lokal, tetapi memiliki resonansi nasional, bahkan internasional, menyangkut hak asasi manusia, kedaulatan masyarakat adat, dan pembangunan berkelanjutan.
Melalui lensa Althusserian, dapat dilihat bahwa konflik ini merupakan manifestasi dari perjuangan antara kekuasaan represif negara dan ideologi pembangunan dengan kebutuhan dan hak masyarakat adat. Ini adalah perjuangan yang mempertaruhkan tidak hanya tanah dan identitas, tetapi juga konsep keadilan, hak asasi manusia, dan demokrasi. Sebagai penulis seorang akademisi dan juga aktivis masyarakat adat Balim pada kajian-kajian transformasi Kunume Wene (Honai Wene), saya memandang peristiwa ini bukan hanya sebagai narasi tentang konflik, tetapi sebagai cerminan dari dinamika kekuasaan yang lebih luas yang mempengaruhi masyarakat adat di seluruh dunia. Ini adalah tentang bagaimana masyarakat mencoba bertahan dan mempertahankan hubungan spiritual mereka dengan tanah yang diwarisi dari nenek moyang.
Dalam perjuangan ini, alat-alat represif dan ideologis negara berbenturan langsung dengan kehidupan masyarakat adat. Upaya untuk mengintegrasikan agama dan pembangunan sebagai alat untuk membenarkan ekspropriasi tanah adat mencerminkan bagaimana ISA digunakan untuk meredam suara-suara resistensi, dengan mengemasnya dalam narasi pembangunan dan kemajuan. Ini adalah refleksi nyata dari teori Althusser tentang peran ISA dalam membentuk konsensus sosial yang mendukung agenda kelas berkuasa, dalam hal ini, agenda pembangunan yang dipromosikan oleh pemerintah.
Penggunaan gereja dan peringatan historis sebagai medium untuk memperkuat kedekatan pemerintah dengan masyarakat lokal dan membenarkan proyek-proyek pembangunan menunjukkan bagaimana kekuatan ideologis bekerja secara halus tetapi efektif. Upaya Pj. Gubernur untuk melibatkan masyarakat dalam proyek pembangunan melalui kegiatan keagamaan dan perayaan sejarah adalah contoh nyata bagaimana ISA dapat memainkan peran dalam mereduksi potensi konflik dan resistensi.
Namun, seperti yang diungkapkan oleh Komnas HAM RI, konflik atas tanah di Papua Pegunungan bukan hanya masalah hak ulayat atau pembangunan infrastruktur. Ini adalah isu yang lebih dalam tentang hak asasi manusia, di mana negara berisiko mengorbankan hak-hak masyarakat adat atas nama pembangunan. Penolakan sebagian masyarakat adat terhadap pembangunan Kantor Gubernur, yang dianggap sebagai pelanggaran terhadap hak mereka untuk mempertahankan kehidupan dan budaya, menegaskan kembali bahwa pembangunan harus dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan dan hak masyarakat lokal.
Dalam konteks ini, teori RSA dan ISA Althusser memberikan kerangka kerja untuk memahami bagaimana kekuatan negara dan ideologi bertindak bersama untuk memperkuat hegemoni, sering kali dengan mengorbankan kelompok-kelompok marginal. Konflik di Papua Pegunungan membuka dialog yang lebih luas tentang bagaimana kita, sebagai masyarakat, memahami pembangunan, kemajuan, dan hak asasi manusia. Ini adalah tentang menemukan keseimbangan antara pembangunan dan pelestarian, antara kemajuan dan penghormatan terhadap warisan dan hak-hak masyarakat adat.
Sebagai seorang aktivis yang berasal dari masyarakat adat Balim yang menekuni transformasi Kunume Wene atau Honai Wene, saya mengundang pembaca untuk merefleksikan dinamika kekuasaan yang diungkap oleh konflik ini dan mempertanyakan peran kita dalam mendukung atau menentang praktek-praktek yang merugikan masyarakat adat. Bagaimana kita dapat memastikan bahwa pembangunan tidak hanya menguntungkan segelintir pihak, tetapi juga menghormati dan memelihara kehidupan serta budaya masyarakat yang telah lama hidup di tanah tersebut? Bagaimana kita dapat memastikan bahwa suara masyarakat adat tidak hanya didengar, tetapi juga diberi ruang untuk mempengaruhi keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka?
Pertanyaan-pertanyaan ini tidak mudah dijawab, tetapi melalui pemahaman kritis terhadap teori dan praktek, kita dapat memulai dialog yang penting untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi semua pihak yang terlibat.
Refrensi:
1. Althusser, L. (1971). “Ideology and Ideological State Apparatuses (Notes towards an Investigation).” In Lenin and Philosophy and Other Essays. New York: Monthly Review Press.
2. Naftali. (2022, April 20). “Sudah Tercatat Dalam Sejarah, Injil Masuk Pertama di Minimo, Bukan Tempat Lain.” Kawattimur.id. Diperoleh dari https://kawattimur.id/2022/04/20/sudah-tercatat-dalam-sejarah-injil-masuk-pertama-di-minimo-bukan-tempat-lain/
3. Hisage, Ronny (Editor: Jamonter Sianturi). (2024, Februari 4). “PJ. Gubernur Papua Pegunungan Kunjungi Kampung Minimo.” RRI.co.id. Diperoleh dari https://www.rri.co.id/daerah/543940/pj-gubernur-papua-pegunungan-kunjungi-kampung-minimo
4. Hisage, Ronny (Editor: Jamonter Sianturi). (2024, April 9). “Pengurus Persekutuan Gereja-Gereja Papua Pegunungan Resmi Dilantik.” RRI.co.id. Diperoleh dari https://www.rri.co.id/daerah/630300/pengurus-persekutuan-gereja-gereja-papua-pegunungan-resmi-dilantik
5. Kompas.com. (2023, Oktober 11). “Harus Balik ke Jakarta, Wapres Ma’ruf Amin Batal Berkunjung ke Jayawijaya dan Merauke.” Diperoleh dari https://regional.kompas.com/read/2023/10/11/213808278/harus-balik-ke-jakarta-wapres-maruf-amin-batal-berkunjung-ke-jayawijaya-dan
6. Jubi. (2023, Oktober 4). “Komnas HAM RI akan tinjau lokasi sengketa pembangunan Kantor Gubernur Papua Pegunungan.” Diperoleh dari https://jubi.id/tanah-papua/2023/komnas-ham-ri-akan-tinjau-lokasi-sengketa-pembangunan-kantor-gubernur-papua-pegunungan/
Editor : Redaksi