Banyuwangi~Globalindo.Net// Di tengah kemerosotan kualitas komunikasi publik,kita menyaksikan ironi yang mencolok:Pejabat negara yang seharusnya menjadi teladan justru menjadi aktor utama dalam normalisasi bahasa yang kasar,tidak beradab,dan tidak beradab.Mereka sering menggunakan diksi yang emosional,sarkastik,bahkan destruktif dalam forum-forum resmi maupun di ruang digital.
Fenomena ini bukan sekedar soal kebebasan berbicara,namun mencerminkan kegagalan mendasar dalam memahami etika seorang pejabat yang bertanggung jawab atas martabat jabatan dan jabatan citra institusi negara.Senin,07/04/2025
Etika berbahasa bukanlah perkara kosmetik,melainkan representasi langsung dari integritas,intelektualitas,dan kedewasaan moral.Ketika seorang pejabat menggunakan bahasa yang kotor,ofensif,atau mengandung unsur kekerasan simbolik,ia sedang meruntuhkan kepercayaan publik sekaligus mempermalukan institusi yang berbohongnya.
Tindakan semacam ini menunjukkan betapa minimnya pemahaman terhadap tanggung jawab komunikatif dalam konteks kekuasaan.Bahwa kekuasaan tanpa kendali hanya menghasilkan arogansi verbal yang merugikan keadaban bersama.
Celakanya,dalam banyak kasus,perilaku berbahasa yang tidak pantas justru dibela dengan dalih spontanitas,kejujuran,atau bahkan dianggap sebagai “gaya komunikasi khas”.Argumentasi semacam ini tidak hanya menyesatkan, tetapi juga berbahaya,karena membuka ruang legitimasi bagi kekasaran sebagai strategi komunikasi politik.
Ini adalah bentuk banalitas keburukan yang menggerus standar kepemimpinan masyarakat.Jika pejabat diperbolehkan berbicara semaunya tanpa etika,maka bangsa ini sedang menormalisasi kebiadaban dalam berkomunikasi.
Krisis keteladanan dalam komunikasi pejabat publik menunjukkan kegagalan struktural dalam pembentukan karakter pemimpin.Pendidikan politik yang meminimalkan integritas,budaya impunitas terhadap pelanggaran etis,serta tidak adanya mekanisme koreksi yang efektif membuat bahasa kekuasaan kian tak terkendali.
Masyarakat yang menjadi audiens utama,terpapar pada model komunikasi yang menjauhkan mereka dari nilai-nilai kebangsaan seperti kesantunan, empati,dan penghargaan terhadap perbedaan.Inilah benih-benih disintegrasi sosial yang ditanam oleh mereka yang seharusnya menjadi penjaga peradaban.
Sudah waktunya masyarakat menuntut standar etika yang tinggi terhadap para pejabat, khususnya dalam berkomunikasi. Kesantunan bukan kelemahan,dan ketegasan tidak harus dibungkus dengan kekasaran.Negara ini membutuhkan pemimpin yang mampu berbicara dengan bernalar,pemaknaan yang tegas tanpa kehilangan adab,serta memahami bahwa setiap kata yang diucapkan dari podium kekuasaan adalah cermin dari peradaban bangsa.Tanpa etika yang diucapkan, jabatan kehilangan kehormatannya,dan kekuasaan hanya akan melahirkan ketakutan, bukan kepercayaan.
HS (Aktivis & Akademisi)